Konservasi Gajah dan Orangutan Dalam “Born To Be Wild”
Oleh della | Beranda Komunitas
Suatu pengalaman yang luar biasa bagi saya untuk berkesempatan menjadi salah satu orang yang diundang dalam pemutaran perdana film "Born to be Wild" di Indonesia, Senin, 20 Februari 2012 di Teater IMAX Keong Emas.
Tahun lalu, film ini mendapat sambutan yang amat meriah ketika diputar pertama kali di Amerika (dan kemudian Belanda). Narator film ini adalah Morgan Freeman, aktor papan atas Hollywood peraih Oscar tahun 2005.
Film dokumenter yang berdurasi 40 menit ini berkisah tentang perlindungan dua satwa yang hampir punah di dua lokasi yang berbeda. Secara spesifik, film ini menceritakan tentang dedikasi orang-orang hebat yang merawat binatang yatim piatu di konservasi orangutan, Kalimantan dan di konservasi gajah, Kenya.
Menurut saya, film ini menyampaikan pesan yang positif tanpa bermaksud menyalahkan berbagai pihak. Meski hutan telah dirusak oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab, alangkah baiknya jika kita tidak hanya sekedar berkomentar dan hanya menyusun wacana. Mulailah berupaya penyelamatan satwa liar dengan bertindak secara nyata.
Bintang utama "Born to be Wild" adalah Birute Galdikas, ilmuwan asal Kanada yang mengabdikan puluhan tahun hidupnya untuk riset dan konservasi di hutan Kalimantan. Dia mengatakan, banyak orangutan yang jadi yatim-piatu karena orangtua mereka dibunuh oleh tangan manusia.
Para perambah hutan atau bahkan penduduk setempat tega melakukan hal tersebut karena menganggap orangutan sebagai hama tanaman perkebunan.
Konservasi yang dipimpin Galdikas adalah rumah bagi populasi orangutan terbesar di dunia. Sekitar 300 ekor orangutan, baik yang sedang dirawat maupun sudah dilepas, mengisi hutan bebas di Kalimantan. Birute beserta para asistennya merawat anak yatim orangutan tersebut layaknya anak sendiri.
Film ini menunjukkan banyak adegan menggemaskan seperti momen saat orangutan diberi susu, berlaku manja kepada manusia hingga memanjat akar-akar di hutan buatan. Birute menekankan, yang mereka lakukan hanyalah merawat, bukan mengontrol tingkah lakunya.
Para orangutan tersebut dibiarkan bertingkah lepas dan liar karena mereka terlahir bukan untuk jadi binatang peliharaan.
Pengabdian serupa juga bisa kita lihat di Daphne Sheldrik dengan konservasi gajahnya di Kenya. Daphne tahu betul apa yang mesti dia lakukan untuk para bayi gajah yatim-piatu. Beberapa bayi gajah yang ditemukan di antara kawanan gajah jantan masih memerlukan susu dari gajah betina (yang sayangnya sudah terbunuh). Bila ini dibiarkan, populasi gajah tentu saja terancam terus berkurang.
Bayi gajah lebih sensitif. Saat dibawa ke pusat konservasi, di antara mereka terlihat masih mengalami trauma atas kejadian buruk yang menimpa ibu mereka. Bayi gajah akan susah tidur dan bertindak liar serta menganggap manusia sebagai musuh.
Daphne merawat bayi gajah dengan cukup detail. Banyak orang gagal merawat bayi gajah (dan berujung pada kematian) tapi Daphne tidak. Dia orang yang sangat mengerti dan telah berhasil merawat banyak bayi gajah di konservasi tersebut.
Salah satunya, dengan mengolesi krim pelembab dengan tabir surya di bagian belakang telinga bayi gajah, agar kulitnya tidak iritasi dan terbakar.
Jika sudah cukup waktu dan dianggap cukup kuat, bayi gajah yang telah tumbuh menjadi gajah remaja, dilepas kembali ke kawanan gajah. Momen yang paling mengharukan adalah ketika kawanan gajah tersebut menyambut dengan hangat kehadiran anggota baru di kelompok mereka.
Karena gajah adalah binatang yang memilki ingatan kuat, dia akan terus mengingat siapa yang merawatnya saat masih kecil.
Orangutan meninggalkan ibunya, dan memutuskan hidup mandiri saat berumur 7-8 tahun. Sebelum dilepas ke hutan bebas, kesehatan orangutan tersebut akan diperiksa, untuk memastikan kondisinya kuat untuk berjuang sendirian di hutan sendirian — tidak lagi dibantu manusia.
Taman Nasional Tanjung Puting adalah tempat terakhir orangutan akan dilepas.
Berkali-kali saya merasa tersentuh dan terharu dengan momen yang menampilkan berbagai kedekatan manusia dengan para binatang di film ini. Berdekatan dengan alam mengajarkan kita untuk menghargai dari setiap ciptaan Yang Maha Kuasa, dengan tidak merusak habitat yang ada.
Bagaimana nasib para binatang liar yang telah dirawat di dua konservasi tersebut, setelah ini? Semuanya, tergantung kita!