Jakarta: Dalam draf Rancangan Undang-undang Keistimewaan Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam, tidak hanya berkedudukan sebagai simbol pelindung budaya dan pemersatu warga yogya. Keduanya bahkan diposisikan sebagai gubernur utama dan wakil gubernur utama yang memiliki sejumlah kewenangan.
"Jadi Sultan dan Paku Alam adalah gubernur dan wakil gubernur utama. Sementara, gubernurnya itu dipilih. Nah, Sultan juga boleh ikut pemilu. Apabila beliau ikut maka beliau otomatis tidak perlu diajukan oleh parpol seperti kepala daerah lainnya. Tidak perlu syarat politik yang 15 persen itu," jelas Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi.
Menurut Mendagri, inilah yang menjadi salah satu keistimewaan Yogyakarta. Jika Sultan tidak mencalonkan diri jadi gubernur ia masih memiliki wewenang untuk mengatur banyak hal dalam roda pemerintahan. Antara lain:
1. Hak-hak protokoler.
2. Hal-hal yang menyangkut tata ruang dan tanah.
3. Berhak memberikan arahan dalam perumusan dan penetapan perda serta APBD.
4. Sebagai pemelihara nilai sosial dan budaya Yogyakarta.
Kendati demikian, pengamat politik menilai adanya gubernur utama dan gubernur yang dipilih rakyat justru membingungkan dan berpotensi melahirkan dualisme kepemimpinan di Yogyakarta.
"Kalau nanti timbul persoalan legitimasi politik di Yogya. Pertanyaan yang muncul, otoritas mana yang akan dipegang oleh masyarakat. Apakah nanti sabda seorang raja akan lebih didengar daripada seorang gubernur," ujar pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPPI) Ikrar Nusa Bakti.
Rencananya, pemerintah akan segera menyerahkan draf RUU tersebut ke DPR. Dalam proses pembahasan, boleh jadi DRP akan merombak sejumlah pasal termasuk soal gubernur utama sebelum wakil rakyat menngesahkannya menjadi undang-undang.(CHR/ANS)
sumber :
Liputan6.com
Liputan 6 - Kamis, 9 Desember 2010